Minggu, 30 Maret 2008

Dampak Reveluasi Yuan Terhadap Perekonomian Indonesia

KAJIAN DAMPAK REVALUASI YUAN TERHADAP

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEKKI Tahun 2003.4

PENDAHULUAN

Dewasa ini, semakin menguat desakan negara-negara maju terhadap China untuk melakukan perubahan sistem nilai tukar yuan dari sistem peg terhadap USD yang diterapkan selama ini ke sistem yang lebih fleksibel, sehingga memungkinkan terjadinya apresiasi terhadap yuan sesuai dengan kondisi pasar. Berbagai argumen dikemukakan oleh negara-negara maju tersebut, diantaranya adalah ancaman deflasi global akibat relatif murahnya produk-produk ekspor China, feksibilitas nilai tukar sebagai integrasi China ke perekonomian global, serta aspek manfaat fleksibilitas nilai tukar yuan dalam mengontrol kredit, uang beredar, dan antisipasi dampak shocks eksternal dan internal terhadap perekonomian China.

Menghadapi kuatnya tekanan untuk menerapkan nilai tukar yang lebih fleksibel tersebut, pemerintah China memandang bahwa perubahan sistem tersebut belum waktunya untuk diterapkan pada saat ini. Pemerintah China dewasa ini lebih memfokuskan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai tukar yuan. Stabilitas nilai tukar yuan sebagaimana selama ini dapat dipelihara dengan sistem peg, dipandang sangat kondusif bagi pertumbuhan ekonomi China sehingga menciptakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi negara ini. Disamping itu, dengan berbagai problem yang dihadapi pemerintah China saat ini, seperti sektor perbankan yang masih relatif rentan (banking fragility) terhadap shock serta indikasi “overheating” yang muncul pada semester II 2003 merupakan faktor yang belum kondusif bagi revaluasi yuan.

POTENSI EKONOMI CHINA

Overview perkembangan ekonomi China

Menyusul program keberhasilan program reformasi ekonomi yang dijalankan pemerintah China untuk mendorong perekonomian ke arah yang lebih berorientasi pasar dan dengan diterimanya China sebagai anggota WTO pada tahun 2000, perekonomian Negara ini mengalami perkembangan yang sangat mengagumkan. Dewasa ini, China bahkan berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang cukup besar di kawasan Asia setelah Jepang. Perkembangan ekonomi negara tersebut dalam beberapa dekade terakhir cenderung meningkat, bahkan ketika krisis melanda beberapa negara di kawasan Asia pada tahun 1997. Peran China dalam perekonomian global menjadi semakin penting sejalan dengan melambatnya perekonomian beberapa negara besar, seperti AS, Eropa, dan Jepang beberapa periode terakhir.

Perkembangan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perekonomian China mengalami pertumbuhan sangat mengesankan, dengan angka pertumbuhan rata-rata mencapai 7% per tahun. Wabah SARS yang melanda kawasan Asia dengan kasus terbesar ditemukan di China, sempat mengganggu pertumbuhan ekonomi negara ini di triwulan II 2003. Meskipun demikian, pemulihan ekonomi khususnya pada triwulan III dan IV 2003 telah mendorong kenaikan pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2003 ke level 9,1% (y-o-y), tertinggi dalam enam tahun terakhir, menyusul pertumbuhan 8,1% (y-o-y) pada tahun 2002. Pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan tekanan inflasi yang rendah bahkan selalu deflasi pada tahun 2001 dan 2002.

Konsumsi masyarakat, sector eksternal khususnya sektor perdagangan serta investasi sangat berperan dalam menunjang tingginya pertumbuhan ekonomi China tersebut. Perdagangan internasional dan investasi tersebut pada tahun 2003 menunjukkan kenaikan 30% (yoy). Sementara konsumsi didukung oleh potensi pasar China yang sangat besar mencapai sekitar 1,3 miliar jiwa (data tahun 2002).

Peran China dalam Perdagangan Internasional

Sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, perdagangan internasional China juga menunjukan kecenderungan meningkat. Sektor ini juga menunjukkan ketahanan yang cukup baik dalam menghadapi shock internal dan eksternal – sebagai contoh terjadinya perang Irak dan wabah SARS pada tahun 2003 Meskipun gangguan tersebut sempat mendorong turunnya kinerja perdagangan internasional China, ekspor China ke pasar internasional kembali meningkat seperti tercermin pada neraca perdagangan yang kembali surplus.

Dalam periode 1996-2002, kawasan Asia masih menjadi pasar terbesar bagi produk ekspor China, dengan pangsa mencapai angka 52% di tahun 2002. Selanjutnya pangsa ekspor terbesar lainnya adalah kawasan Amerika Utara dan Eropa yang masing-masing mencapai 23% dan 18%. Di kawasan Asia, ekspor China sebagian besar ditujukan ke Hong Kong (17,5%) dan Jepang (16,9%). Sementara itu, ekspor China ke Indonesia relatif kecil dengan pangsa sebesar 1,8% dari total ekspor China ke kawasan Asia. Angka ini juga relatif stabil dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 1,7%.

Untuk negara-negara industri maju, ekspor China terbesar ditujukan ke AS dengan pangsa rata-rata sekitar 40% untuk periode tahun 1995-2002. Pada periode yang sama, tujuan ekspor utama lainnya adalah Jepang dengan rata-rata mencapai 35%. Dapat ditambahkan, perkembangan ekspor China ke AS terus menunjukkan kecenderungan meningkat secara signifikan. Kondisi itulah yang menjadi salah satu penyebab kekhawatiran AS terhadap masuknya produk-produk China ke pasar domestik. Dengan semakin berkembangnya ekspor China ke AS, Jepang dan beberapa negara industri maju lainnya –yang juga mengekspor produknya ke AS—turut mengkhawatirkan perkembangan tersebut.

Dari sisi komoditas, ekspor China mengalami perkembangan dari produk primer ke arah produk “middle dan high end”. Pada periode 1984-1987 mayoritas ekspor China ke pasar global masih merupakan komoditas minyak mentah, dengan pangsa sekitar 22-41%. Selanjutnya sejak tahun 1988 mulai terjadi pergeseran pangsa komoditas ke produk pakaian jadi, sehingga pangsanya mencapai 38,9% dibandingkan dengan minyak mentah sebesar 3,1%. Selain produk pakaian jadi, ekspor mainan anak-anak juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, dari sekitar 3% pada tahun 1984 menjadi 11,97% di tahun 2001.

Komoditas ekspor China juga mempunyai pasar tersendiri. Untuk tujuan ekspor utamanya, seperti Jepang komoditas ekspor utama China adalah produk tekstil dan peralatan elektronik dengan pangsa masing-masing mencapai 26% dan 29% pada tahun 2002. Sementara untuk pasar Eropa dan Amerika, mayoritas ekspor China adalah peralatan listrik, dengan pangsa masingmasing mencapai 38,9% dan 37,5%.

Selain perkembangan ekspor ke pasar internasional yang mengesankan, investasi China ke luar negeri juga menunjukkan perkembangan serupa. Dalam semilan tahun terakhir terlihat adanya peningkatan signifikan nilai investasi China ke luar negeri, dari $1690 juta di tahun 1993 menjadi $4433 juta di tahun 2001. Menilik perkembangan ekspor dan investasi tersebut, terlihat semakin pentingnya peran ekonomi China dalam perekonomian global. Sementara itu, dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta kebijakan ekonomi yang semakin liberal, China juga merupakan pasar potensial yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia baik dalam kerangka perdagangan maupun investasi.

HUBUNGAN EKONOMI CHINA DENGAN INDONESIA

Selain letak regionalnya, perekonomian China dan Indonesia juga mempunyai keterkaitan yang erat khususnya dalam bentuk kerjasama perdagangan dan investasi. Perkembangan perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China dewasa ini menunjukkan kecenderungan meningkat. Meskipun demikian, berdasarkan total nilai ekspor dan impor China ke dan dari Indonesia terlihat bahwa nilai ekspor dan impor China terhadap Indonesia relative kecil jika dibandingkan dengan total ekspor dan impor China ke pasar internasional. Pangsa ekspor China ke Indonesia berdasarkan data tahun 1984-2002 terhadap total ekspor China hanya mencapai rata-rata sebesar 0,7% sedangkan untuk impor China dari Indonesia mencapai 1,5% dari total impor China. Sementara jika dibandingkan dengan ekspor dan impor China ke/dari kawasan Asia, pangsa ekspor China ke Indonesia mencapai angka 1,2% sedangkan untuk impor China dari Indonesia mencapai angka 2,6%.

Meskipun secara total pangsa ekspor China ke Indonesia masih relative kecil, pangsa impor Indonesia dari China meningkat signifikan, baik dibandingkan dengan total impor Indonesia maupun dengan impor non-migas Indonesia. Jika pada tahun 1988 pangsa impor Indonesia dari China hanya sebesar 3,3% (terhadap total impor Indonesia) dan 3,6% (impor non-migas Indonesia), maka pada tahun 2002 pangsa tersebut melonjak masingmasing menjadi 7,8% dan 9,8%.

Terlepas dari tren peningkatan impor Indonesia dari China, total perdagangan bilateral antara Indonesia dan China sejak tahun 1993 memperlihatkan nilai perdagangan surplus bagi Indonesia. Hal ini didukung oleh lebih kecilnya nilai ekspor China ke Indonesia dibandingkan dengan nilai impor China dari Indonesia. Sementara itu, ditinjau dari jenis komoditasnya, ekspor China ke Indonesia sebagian besar adalah mesin-mesin dan alat-alat listrik dengan pangsa mencapai 30,4% (tahun 2001) dari total ekspor China ke Indonesia. Sedangkan untuk impor dari Indonesia mayoritasnya adalah produk mineral termasuk bahan bakar minyak dengan pangsa mencapai 38% (tahun 2001).

Untuk menjawab pertanyaan, apakah revaluasi yuan akan berdampak pada perekonomian Indonesia, hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek terkait dengan perdagangan internasinal kedua negara, yaitu antara lain : perbandingan komoditas ekspor China dengan Indonesia, perbandingan pangsa ekspor kedua negara, dan perbandingan daya saing produk ekspor kedua negara. Dari perbandingan jenis komoditas ekspor yang masuk dalam peringkat 10 terbesar antara Indonesia dengan China menunjukkan adanya banyak persamaan, yaitu pada komoditas (i) Mineral Fuels,Lubricants etc., (ii) Manufactured Goods, (iii) Miscellaneous Manufactured Articles, (iv) Machinery and Transport Equipments, (v) Petroleum and Petroleum Products, (vi) Gas, Natural and Manufactured, (vii) Crude Materials, Inedible Textile Yarns, Fabrics and Made up Articles, (viii) Food and Live Animals. Kesamaan jenis komoditas andalan ekspor tersebut mengindikasikan potensi persaingan antara ekspor Indonesia dengan China.

Selanjutnya, perkembangan daya saing ekspor antara Indonesia dengan China berdasarkan perbandingan nilai tukar riil bilateral (BRER) rupiah dan yuan, menunjukkan bahwa sampai saat ini daya saing produk ekspor Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daya saing produk ekspor China. Hal ini ditunjukkan dengan indeks BRER rupiah lebih rendah dibandingkan indeks BRER yuan. Namun demikian, sejalan dengan menguatnya nilai tukar rupiah beberapa periode terakhir, perlu diwaspadai kecenderungan meningkatnya BRER rupiah — naik dari 64,18 di akhir 2002 menjadi 67,86 di Agustus 2003—dan bahkan telah melampaui Malaysia (66,3) dan Thailand (64,5), sementara BRER yuan terlihat cenderung menurun, dari 83,7 di akhir 2002 menjadi 82,9 di bulan Agustus 2003. Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, sementara China tetap mempertahankan sistem nilai tukar peg terhadap USD, maka dikhawatirkan pada beberapa periode ke depan produk ekspor Indonesia akan menghadapi persaingan yang semakin berat khususnya persaingan dengan produk ekspor China.

Revaluasi yuan secara langsung akan berdampak pada naiknya harga dan mengurangi daya saing produk ekspor China di pasar internasional. Hal ini akan menciptakan peluang bagi produk ekspor Indonesia untuk merebut pasar ekspor China, khususnya produk ekspor yang mempunyai kesamaan dengan produk ekspor China. Peluang bagi Indonesia tersebut akan semakin besar mengingat dengan sistem peg yang diterapkan saat inipun kondisi BRER rupiah yang relatif lebih rendah dibandingkan BRER yuan. Dengan demikian, dari sisi ini Indonesia juga akan diuntungkan apabila revaluasi Yuan diterapkan pemerintah China.

Terkait dengan perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China, revaluasi yuan diperkirakan akan semakin meningkatkan surplus perdagangan Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa dalam sistem nilai tukar “pegging” yuan terhadap USD selama ini masih menciptakan surplus bagi Indonesia (nilai ekspor Indonesia ke China masih lebih besar dibandingkan nilai impor Indonesia dari China). Revaluasi yuan tentunya akan menyebabkan harga produk yang diimpor China dari Indonesia menjadi semakin murah, sehingga diharapkan permintaan impor produk Indonesia oleh masyarakat China akan mengalami peningkatan. Dengan demikian, surplus perdagangan bilateral Indonesia dengan China tentunya akan semakin meningkat.

Meskipun selama ini surplus perdagangan dengan China selalu dialami Indonesia, perlu dicermati kecenderungan meningkatnya impor Indonesia dari China yang cukup signifikan dalam beberapa periode terakhir. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pangsa impor Indonesia dari China, yaitu dari 3,3% di tahun 1988 menjadi 7,8% di akhir tahun 2002. Dari jenis komoditasnya, mayoritas impor Indonesia dari China adalah mesin-mesin dan peralatan listrik. Peningkatan pangsa impor dari China tersebut perlu dicermati dampaknya terhadap sektor riil, khususnya sektor produksi, mengingat mesin dan peralatan listrik tersebut pada umumnya merupakan alat produksi (capital goods).

PENUTUP

Perkembangan ekonomi China yang mengesankan telah meningkatkan peran Negara tersebut dalam perekonomian global. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cenderung meningkatnya nilai ekspor China di pasar internasional dan perkembangan investasi China ke luar negeri. Selain itu, jumlah penduduk yang sangat besar dan pertumbuhan ekonomi tinggi, China sekaligus juga mempunyai potensi pasar yang sangat besar bagi produk ekspor negaranegara di dunia.

Revaluasi yuan sebagaimana ditekankan oleh beberapa negara industri maju akhir-akhir ini diperkirakan akan berdampak pada naiknya harga barang-barang ekspor China. Kenaikan harga produk ekspor China akibat apresiasi yuan tersebut selanjutnya akan berdampak pada turunnya daya saing produk ekspor China. Bagi perekonomian Indonesia, revaluasi yuan tersebut diperkirakan kurang berdampak negatif yang berarti. Sebaliknya, hal ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merebut pangsa ekspor China ke pasar global. Satu hal yang sebenarnya perlu lebih diwaspadai adalah kemungkinan terganggunya perekonomian China, mengingat mulai nampaknya indikasi “overheating” perekonomian negara tersebut di semester II 2003. Terganggunya atau lebih buruk lagi melambatnya pertumbuhan ekonomi\ China diperkirakan justru akan berdampak serius bagi perekonomian global, mengingat besarnya potensi pasar China.

Tidak ada komentar: