Minggu, 30 Maret 2008

NILAI TUKAR

Memahami Penguatan Rupiah

Dalam tempo kurang 6 bulan sejak kurs rupiah terdepresiasi ke level Rp 11.000 pada akhir Agustus 2005, dari awal September 2005 hingga minggu kedua Februari 2006 rupiah menguat 10% lebih. Beberapa kalangan mulai cemas, penguatan ini dapat menurunkan kinerja ekspor karena daya saing rupiah anjlok.

Oleh: NANANG HENDARSAH*)

Kecemasan tidak perlu muncul bila melihat banyaknya sisi lain dalam perekonomian yang justru diuntungkan penguatan rupiah. Misalnya, mengurangi tekanan kenaikan inflasi dan suku bungan karena besarnya pengaruh kurs terhadap pembentukan ekspektasi inflasi. Kalau inflasi dapat turun terus, secara riil daya saing rupiah tidak akan terganggu.

Kurs bukanlah faktor tunggal penentu daya saing ekspor. Justru beberapa kalemahan struktural industri berbasis ekspor membuat komoditas Indonesia sulit bersaing di pasar global.

Penguatan rupiah bukanlah masalah besar jika naik turunnya kurs dipandang sebagai hal wajar. Apabila kurs ditentukan pasar, ia akan bergerak menyesuaikan dengan kondisi permintaan dan penawaran valuta, sebagai representasi kondisi ekonomi. Persoalan pentingnya, agar proses penyesuaian kurs ini tidak terlalu fluktuatif dan tidak menimbulkan ketidakpastian yang persisten. Apabila kondisi fundamentalnya dala jangka panjang memang mengharuskan rupiah turun atau naik maka penyesuaian seyogyanya tanpa gejolak.

Sejatinya, faktor produktivitas dan daya saing disektor ekspor (Ballasa Samuelson Effect), yang merupakan keunggulan negara-negara industri baru di Asia, menjadi penentu utama arah pergerakan kurs dalam jangka panjang. Kebijakan oneter hanya turut berperan memperhalus (smoothing) pergerakan kurs dalam tren jangka panjangnya.


Ibarat harga di pasar barang yang ditentukan permintaan dan penawaran, penentuan kurs valuta pun demikian, meski mekanisme pentuan harganya lebihbanyak terjadi di pasar antar-bank (Over the counter market). Sejalan dengan menggiatnya kembali kegiatran usaha sejak awal tahun 2003, permintaan valas terutama dari korporasi terus meningkat. Selama 2004, pembelian valas oleh korporasi di pasar spot mencapai rata-rata 2,5 miliar dollar AS per bulan atau melonjak 93% dari rata-rata bulanan tahun 2003, dan pada tahun 2005 mencapai 3,2 miliar dollar AS perbulan atau meningkat lagi sebesar 27%.

Meningkatnya pembelian valas ini secara tajam, terutama akibat ekspektasi ekonomi yang tergantung pada barang modal dan bahan baku impor. Sebagai salah satu contoh, selama 2004 dan 2005 industri otomotif getolmemburu valas karena meningkatnya kebutuhan impor untuk memenuhi lonjakan permintaan kendaraan bermotor. Maraknya pembelian kendaraan bermotor juga didukung pembiayaan kredit yang sangat murah.

Ekspansi usaha dan melonjaknya penjualan kendaraan bermotor tentu berkonsekuansi meningkatnya konsumsi BBM. Pada tahun 2005, konsumsi BBM perbulan rata-rata naik sekitar 12% dibandingkan dengan konsumsi bulanan tahun 2002. Di sisi lain, tahun 2005 juga diwarnai melambungnya harga minyak sampai 70 dollar AS per barel. Tentu, kebutuhan devisa untuk impor minyak melonjak. Rata-rata nilai impor minyak (Crude dan produk BBM) per bulan selama 2005 naik 150% dari rata-rata bulanan selama 2002.

Sebaliknya, volume produksi minyak mentah kita cenderung turun karena kapasitas produksi minyak semakin terbatas. Selama 2005, rata-rata volume produksi minyak per bulan turun sekitar 20% dibandingkan rata-rata tahun 2002.

Magnet jangka panjang

Dari sisi penawaran, pasokan valas pun tidak mengalami peningkatan berarti. Meskipun selama 2005 penjualan valas oleh korporasi mencapai rata-rata 2,4 miliar dollar AS per bulan, naik 29% dari tahun 2004, jumlah ini masih lebih kecil dari permintaan korporasi yang mencapai 3,2 miliar dollar AS per bulan. Akibatnya, selama tahun 2005 tiap bulan pasar mengalami ekses demand dari korporasi sekitar 800 juta dollar AS. Jumlah ini lebih besar dari tahun 2002 yang hanya 240 juta dolar per bulan.

Kenyataannya, devisa dari sektor industri berbasis ekspor pun belum cukup memenuhi kebutuhan valas akibat tingginya pertumbuan impor. Dilihat dari strukturnya, komposii pasokan valas sesungguhnya cukup rentan. Belum memadainya pasokan devisa dari ekspor, aliran masuk modal portofolio asing atau sering disebut hot money justru mendominasi pasokan valas.

Pasokan valas dari aliran modal asing ke sektor riil (FDI) masih penuh ketidakpastian, meskipun rencana penanaman modal asing terindikasi meningkat beberapa tahun terakhir. Dari total mutasi modal FDI dan fortofolio selama tahun 2004, nilai bersih dari aliran modal masuk dalam bentuk fortofolio mencapai sekitar 75% dan turun menjadi sekitar 52% selama tahun 2005. Ini berbalikan dengan kebanyakan negara tetangga yang lebih banyak menerima aliran FDI. Komposisi aliran modal masuk demikian tentu menyimpan masalah karena jenis modal hot money ini mudah masuk dan mudah berbalik lagi keluar.

Keluarnya hot money pada pertengahan tahun 2004 serta awal tahun 2005 yang memicu kepanikan pelaku pasar domestik dan sempat menghempaskan kurs rupiah menembus Rp 10.000,- merupakan contoh betapa bahayanya jenis modal itu. Namun, rupiah yang kembali perkasa pada awal tahun 2006 ini pun justru berkat gelontoran valas dari hot money yang masuk ke beberapa instrumen, seperti saham, SUN, dan SBI sejak september 2005.

Kepemilikan asing dalam SBI dan SUN pada pertengahan Februari 2006 telah naik dua kali lipat dari posisi akhir Agustus. Di pasar spot, kenaikan itu juga terindikasi dari besarnya mutasi penjualan valas oleh pelaku luar negeri ke bank-bank nasional sejak September 2005. bahkan selama Januari 2006 mencapai 2,8 miliar dolar AS, atau secara nilai bersih (net) mencapai 1,17 miliar dolar AS.

Memang, instrumen-instrumen rupiah iru menawarkan imbal hasil yang cukup menggiurkan bagi pemodal asing. Di pasar SUN, mereka mulai mengakumulasi instrumen ini ketika harga mencapai titik terendah dengan imbal hasil sekitar 15% akibat maraknya pencairan reksa dana sekitar awal September 2005. dengan imbal hasil SUN bertenor 5 tahun saat ini sekitar 12% tetap masih lebih tinggi dari imbal hasil obligasi Peso Filipina yang sekitar 9%.

Jelas kiranya, pola ekspansi ekonomi yang tergantung pada impor dan tingginya impor minyak membuat pasar valas senantiasa mengalami akses demand. Kesenjangan ini sebagian ditutup dengan pasokan valas dalam bentuk modal asing untuk portofolio.

Ibaratnya, jenis modal ini dibenci, tetapi juga dirindukan di tengah belum memadainya dukungan devisa hasil ekspor dan aliran FDI. Karena itu, menyikapinya perlu kehati-hatian. Kita berharap pemodal asing bisa memarkir uangnya berlama-lama. Tentu tergantung keyakinan mereka akan prospek ekonomi Indonesia dan terpeliharanya kestabilan makro-ekonomi yang perlu didukung fondasi kebijakan yang kokoh.

Jika aliran masuk dana asing ke portofolio tertanam sustainable seperti di negara lain, lambat laun akan diikuti masuknya FDI. Dengan dukungan kebijakan fiskal yang semakin pruden dan kebijakan moneter yang semakin konsisten dalam mencapai inflasi rendah dan stabil, akan memperkecil peluang keluarnya hot money secara “brutal” seperti pertengahan tahun 2004 dan 2005.

Meski demikian, kewaspadaan tetap diperlukan sembari menuntaskan pekerjaan lainnya agar jadi magnet masuknya modal jangka panjang. Misalnya, realisasi proyek infrastruktur yang nilainya sangat besar dan kelanjutan upaya serius pemerintah memberantas berbagai distorsi penyebab ekonomi biaya tinggi.

(SUMBER: KOMPAS / Selasa, 27 Februari 2006)



*) Nanang Hendarsah : Peneliti Ekonomi Madya Bank Indonesia (artikel ini merupakan pendapat peribadi)

Kenaikan Suku Bunga Global dan Implikasinya Terhadap Perekonomian Global dan Indonesia

KENAIKAN SUKU BUNGA GLOBAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP

PEREKONOMIAN GLOBAL DAN INDONESIA

Oleh : Nurhemi

PEKKI Tahun 2006.2


Pada 29 Juni 2006, Federal Reserve akhirnya menaikkan suku bunga sebanyak 25 bps sehingga menjadi 5,25%, kenaikan ini merupakan ke 17 kalinya secara berturut-turut sejak Juni 2004. Kecenderungan peningkatan suku bunga tampaknya tidak hanya dilakukan oleh Federal Reserve saja, European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BOJ) melakukan pengetatan moneter dengan meningkatkan suku bunga masing-masing 2,75% dan 0,25%. Apa yang dapat ditangkap oleh pasar dengan trend kenaikan suku bunga ini? Sebagian kalangan menterjemahkan keadaan ini sebagai adanya ketidakpastian tentang kebijakan apakah kenaikan suku bunga akan berhenti sampai disini atau akan terus berlanjut. Jika demikian apa implikasi terhadap perekonomian global dan khususnya perekonomian Indonesia serta bagaimana usaha untuk meminimalkan efek kenaikkan suku bunga global tersebut.

PENGARUH SUKU BUNGA

Suku bunga merupakan salah satu tools yang digunakan oleh bank sentral dalam melakukan kebijakan moneternya, misalnya Federal Reserve melakukan control suku bunga jangka pendeknya secara langsung dengan cara mengumumkan Fed Fund Rate. Suku bunga jangka pendek ini biasanya menjadi acuan bagi pergerakan suku bunga jangka panjang meski banyak faktor lainnya yang mempengaruhinya antara lain[1];

1. Sisi supply ;

Dalam kebijakan moneter suku bunga digunakan untuk menentukan berapa banyak supply uang yang akan diinjeksi kedalam perekonomian. Peningkatan supply surat berharga jangka pendek oleh bank sentral merupakan tindakan penyerapan uang yang beredar yang menyebabkan suku bunga jangka pendek meningkat.

Untuk membiayai kebijakan fiskal yang deficit suatu negara akan memperoleh uang dengan cara menerbitkan obligasi. Makin lebar difisit, makin banyak obligasi yang diterbitkan. Untuk menarik minat lender maka suku bunga harus dinaikkan dan hal ini menyebabkan tekanan peningkatan suku bunga jangka panjang atau obligasi.

2. Sisi demand ;

Adanya ekspektasi terhadap inflasi menjadi kunci utama dalam pergerakan suku bunga. Jika peminjam mengharapkan real return, kemudian ekspektasi terhadap inflasi meningkat maka nominal interest rate akan naik (nominal yield=riel yield + inflation), hal ini sebagaimana dapat dilihat pada grafik 1. Kenaikan suku bunga Fed Fund cenderung membuat Yield Curve menjadi datar karena Yield Curve menggambarkan nominal interest rate: higher nominal =higher real interest rate + lower inflation.

Fundamental Ekonomi

Faktor lain yang ikut berpengaruh terhadap perubahan suku bunga adalah fundamental ekonomi suatu negara mengingat permintaan terhadap obligasi suatu negara sangat tergantung dari pertumbuhan ekonominya, apakah mata uangnya kompetitif serta terdapat kesempatan untuk melakukan lindung nilai ( hedging).

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PENINGKATAN SUKU BUNGA AS

• Expected Inflation

Sejak Juni 2004 setiap pertemuan Federal Open Market Committee (FMOC) berakhir dengan naiknya Fed Fund Rate, bahkan pertemuan bulan Agustus mendatang dipercaya suku bunga ini kembali akan naik. Sebenarnya faktor-faktor apa saja yang menyebabkan Fed Res mengambil keputusan meningkatkan suku bunganya?

Sebagaimana teori yang dikemukakan terdahulu bahwa suku bunga dapat dipengaruhi baik dari sisi supply maupun demand. Kenaikan suku bunga merupakan respon terhadap ekspektasi kenaikan inflasi yang dipicu oleh kenaikan harga minyak dunia yang lebih dari 70 dollar AS per barel dan disebabkan berkurangnya supply minyak terutama dari beberapa negara utama seperti Nigeria, Venezuela serta akibat meningkatnya permasalahan geo politik negara-negara pen- supply di Timur Tengah. Selain itu harga komoditas seperti emas, dan cooper turut andil dalam mendorong kenaikan harga komoditas lainnya.

Bahwa ekspektasi inflasi mendekati kenyataan hampir dapat dipastikan. Berdasarkan survei yang dilakukan bulan April 2006, ekspektasi inflasi AS untuk 5 - 10 tahun diperkirakan mencapai 3,1%, lebih tinggi dari rata-rata inflasi tahun 2005 yang mencapai 2,9%. Hal ini juga diisyaratkan dengan kenaikan harga indexed ten-year Treasury bonds naik 20 bps menjadi 2,7% pada beberapa minggu lalu. Efek kenaikan harga minyak saat ini sangat terasa bagi masyarakat AS. Pasar tenaga kerja sangat ketat dan perusahaan-perusahaan beroperasi lebih intensif. Hal ini terlihat dari index capacity-utilisation yang mencapai 81,3%(terketat sejak tahun 2000) dan tingkat pengangguran mencapai 4,7%.

• Global saving glut

Permasalahan lain yang dituding sebagai pemicu ketatnya perekonomian AS saat ini adalah ‘global saving glut[2] yang menyebabkan meningkatnya twin deficit AS (current account deficit/CA dan budget deficit). Defisit neraca berjalan AS saat ini mencapai di atas 800 milyar dollar AS atau lebih dari 5,75% dari total Produk Domestik Bruto-nya (PDB), sementara itu pada tahun 1996 defisit ini baru mencapai 120 milyar dollar AS atau setara 1,5% dari total PDB-nya.

Ketidakseimbangan neraca perdagangan AS, tidak hanya dijelaskan dari faktor-faktor yang terkait langsung dengan perdagangan melainkan juga dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, harga aset, suku bunga dan nilai tukar. Untuk itu, melihat hubungan perdagangan dilihat dari aliran keuangan internasional terutama dari aspek tabungan dan investasi menjadi penting.

Perekonomian semaju dan terbesar didunia seperti AS dengan pasar modal yang sangat maju, secara teoritis seharusnya menjadi lender dimana aliran modal dari negara maju yang kaya akan capital abundant ini mengalir menuju negara-negara yang less capital ke negara-negara berkembang. Namun kenyataan yang dialami AS saat ini kurangnya akumulasi tabungan untuk membiayai investasi domestik, sehingga saat ini AS menjadi borrower. Besarnya defisit CA ini sama dengan selisih antara investasi dengan tabungan. Apa sebenarnya yang menjadi penyebab penurunan tabungan tersebut?

1. Global saving glut, disebabkan tingginya motif menabung negara-negara kaya yang berpopulasi penduduk menua seperti di Jepang dan sebagian negara-negara di Eropa yang bersiap menghadapi kenaikan jumlah pekerja yang akan pensiun. Sementara itu tingginya rasio modal terhadap pekerja menyebabkan negara-negara maju tersebut mengalami kekurangan kesempatan berinvestasi didalam negeri sementara itu neraca berjalan negara-negara ini mengalami surplus sehingga mengarahkan investasinya ke luar terutama ke AS.

2. Rangkaian krisis keuangan yang terjadi pada negaranegara berkembang telah membuat negara-negara tersebut melakukan strategi dalam mengelola aliran keuangan internasionalnya dari borrower menjadi lender melalui akumulasi cadangan devisa yang begitu besar. Akumulasi ini diperoleh dari surplus neraca berjalan dan dengan menerbitkan utang domestik lalu proceed-nya digunakan untuk membeli US Treasury dan aset lainnya, mengingat AS dianggap negara yang tidak beresiko, dengan demikian negara-negara berkembang telah menjadi net lender kepada AS.

Membanjirnya dana-dana yang ditujukan ke AS ini telah mendorong equities dan stock market AS dan mendongkrak harga-harga perumahan di AS meningkat, yang berujung pada meningkatnya pendapatan masyarakat AS. Pendapatan yang meningkat ini mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsinya sehingga kecenderungan untuk menabung menjadi turun.

IMPLIKASI KENAIKAN SUKU BUNGA GLOBAL

Ekonomi global, dan AS

Meningkatnya suku bunga AS bahkan secara global seperti yang dilakukan juga oleh ECB dan BOJ dipastikan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi dunia. Dari skenario yang terburuk diperkirakan ekonomi global akan mengalami depresi sebagaimana terjadi pada tahun 1930-an, karena selain ancaman inflasi karena meningkatnya harga minyak, global imbalance yang tak kunjung terselesaikan akan menyebabkan beberapa negara mengalami defisit neraca berjalan dan defisit fiscal yang semakin lebar.

Kenaikan Fed Fund Rate paling nyata akan menghantam sektor perumahan AS yang selama ini menjadi motor penggerak konsumsi. Tingginya suku bunga akan menyebabkan penjualan rumah dan konstruksi menurun diperkirakan hingga 10% pada semester II/2006. Rasio debt to income masyarakat akan meningkat dan faktor ini pada akhirnya akan menyebabkan konsumsi turun menjadi sekitar 2%-2.5% dan mengingat konsumsi AS mencapai 70% dari PDB maka hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan PDB AS akan turun menjadi 2%-2,5%.

Defisit neraca berjalan AS akan memburuk tahun 2006, mencapai lebih dari 900 milyar dollar AS karena memburuknya kinerja ekspor AS dan global current account imbalance akan semakin melebar. Besarnya pinjaman AS (large debtor) terhadap dunia akan menambah berat beban budget defisit karena beban pembayaran bunga khususnya setelah kenaikkan suku bunganya. Budget deficit AS saat ini telah mencapai lebih dari 5% terhadap PDB-nya.

ECB dan BOJ akan mulai melakukan kebijakan moneter yang ketat dan kondisi likuiditas global akan mulai berbalik arah (reversal). Kondisi likuiditas global yang likuid sudah terlalu lama dan peningkatan kepemilikan aset-aset Fed yang telah meningkatkan sektor perumahan dan juga harga aset yang beresiko meningkat sementara itu saat ini spread terlalu rendah. ECB telah memulai pengetatannya dan akan terus berlanjut. Sementara itu ketatnya kebijakan moneter di Jepang mengancam «carry trades» oleh spekulator yang meminjam dalam Yen dan menggunakan proceed-nya untuk membeli aset-aset yang memiliki return yang tinggi.

KELESUAN EKONOMI AMERIKA AKAN MENURUNKAN PERTUMBUHAN ASIA?

Kenaikan suku bunga Fed Res saat ini akan mengancam pertumbuhan ekonomi di Asia. Negaranegara seperti Singapura, Korea Selatan, Indonesia dan China disinyalir sebagai negara yang akan terkena dampak terparah dari kenaikan suku bunga Fedres tersebut. Benarkah demikian, atau apakah sedemikian mudahnya perekonomian Asia terpengaruh?

Dengan kenaikan Fed Fund Rate saat ini, tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Asia diprediksi akan berkurang setengahnya.[3] Kenaikan suku bunga oleh Fed Res sedikitnya mempunyai 2 implikasi terhadap perekonomian Asia:

Pertama, jika permintaan Amerika berkurang akibat naiknya suku bunga, akan berimbas pula pada ekspor dari Asia. Sementara itu disisi lain ekspor merupakan mesin pertumbuhan ekonomi Asia yang terbesar. Negara dengan defisit neraca berjalan dan deficit fiskal akan sangat terpengruh akibat kenaikan suku bunga AS ini.

Kedua, jika pasar keuangan dunia juga terkena, likuiditas keuangan duniapun akan berimbas. Hal ini berarti dana murah yang berasal dari Jepang misalnya, dan negara-negara lain, akan berbalik arah (reversal) - kembali ke negara asal. Hal ini berarti investasi ke negaranegara Asia terutama sekali negara-negara yang disebut high risk seperti Indonesia, Filipina dan India, akan terimbas agak signifikan. Implikasi ini memiliki resiko tinggi dalam jangka pendek.

Efek negatif dari kenaikan suku bunga ini akan sedrastis seperti yang telah disebutkan di atas dan makin mendekati kenyataan, mengingat kenaikan harga minyak, kenaikan upah buruh, harga perumahan atau properti di AS. Namun demikian, kenaikan suku bunga AS tidak secara serta merta langsung mempengaruhi perekonomian di Asia, melainkan merupakan efek berantai dari suatu kejadian. Kenaikan suku bunga akan mengurangi ekspor dari Asia, padahal ekspor adalah penggerak utama perekonomian Asia. Suku bunga AS yang tinggi, menyebabkan pinjaman untuk kredit rumah akan menjadi lebih mahal sehingga pembelian rumah akan menurun. Hal ini menyebabkan harga property turun dengan cepat dan ini menyebabkan nilai kekayaan masyarakat menurun karena murahnya harga asset mereka. Berkurangnnya kekayaan mereka menyebabkan permintaan terhadap barang-barang ekspor berkurang yang artinya akan menyebabkan turunnya ekspor dari Asia termasuk Indonesia.

Saat ini dengan kenaikan sebagian besar mata uang Negara-negara Asia Timur dan Tenggara yang sedemikian cepat, apakah ini merupakan hal yang aman? Mungkinkah ini hanya langkah sementara saja, dimana suatu waktu akan tertekan lagi oleh Dolar AS? Pada dasarnya AS lebih suka jika mata uang Asia semakin menguat, karena itu artinya Asia akan mengimpor barang dari Amerika lebih banyak, karena produk Amerika jadi lebih murah bagi negara Asia. Jika mata uang kita kuat, kita akan membeli barang dari luar negeri. Tapi yang ditakutkan adalah sebaliknya, tingkat suku bunga Amerika, melemahnya ekonomi Amerika dan juga peningkatan resiko di dunia, setiap waktu jika ada peningkatan resiko atau risk aversion, emerging market akan terpengaruh. Resiko ini yang tidak diinginkan baik oleh Amerika maupun oleh Asia.

Sementara itu bagi Indonesia, suku bunga BI rate bulan Juni pada level 12,5% masih akomodatif dan cenderung turun mengingat inflasi mengalami kecenderungan menurun bahkan diperkirakan mencapai sekitar 7,3% pada akhir tahun 2006. Penurunan ini dilakukan berhati-hati dan secara gradual dengan syarat kurs Rupiah yang tetap terjaga. Namun biasanya transmisi moneter ini berjalan agak lama hingga sampai ke bankbank untuk menurunkan suku bunga kreditnya (kurang lebih 6 bln), sementara itu perbankan sangat responsive dalam menurunkan suku bunga kreditnya. Untuk itu tampaknya perlu adanya stimulus fiskal guna menggerakan perekonomian melalui percepatan realisasi anggaran proyek-proyek.

Kenaikan suku bunga AS masih beresiko bagi Indonesia, namun meski Fed Fund rate meningkat hingga 5,5%, investasi dana di Indonesia masih menarik dengan selisih suku bunga sekitar 6,75%-7% dengan catatan tidak terjadi peningkatan resiko yang berefek reversal.

PENUTUP

Kenaikan suku bunga AS sangat berpotensi mengancam kenaikan pertumbuhan ekonomi domestiknya maupun global, terlebih dengan kenaikan harga minyak, permasalahan global imbalances dan geo politik, yang bukan tidak mungkin akan berujung pada harsh hard landing bagi perekonomian AS dan akan berimbas secara global. Ekonomi AS dalam ancaman stagflasi serius. Untuk menghindari ancaman stagflasi bahkan resesi, Fed Res hendaknya menghentikan kebijakan meningkatkan suku bunganya. Bagi Asia saat ini masih tertolong dengan menguatnya mata uang Asia; Rupiah, Dolar Singapura, Ringgit Malaysia dan mata uang Negara-negara di kawasan ini, tentunya membantu menghilangkan efek tersebut.



[1] David Harver, Investopedia, 2003 Sumber : Investopedia Lower inflation expectation

[2] Ben S. Bernanke, The Global Saving Glut and U.S. Current account Deficit, April 2005.

[3] Secara kuantitatif efek kenaikan suku bunga AS terhadap kegiatan perekonomian suatu negara dapat menggunakan The Global Economy Model (GEM) seperti yang dilakukan oleh Ivan Tchakarov and Selim Elekdag, The role of interest rates in business cycle fluctuation in emerging market countries: The case of Thailand, IMF Working Paper, WP/06/110, May 2006. Penulis berkesimpulan bahwa implikasi kebijakan yang terbaik dari opsi kebijakan moneter bagi otoritas moneter Thailand adalah menganut rejim flexible exchange rate untuk mengatasi tantangan eksternal yakni kenaikan suku bunga global.

Gejolak Harga Minyak Dunia dan Respon Kebijakan Negara-negara Asia Pasifik

GEJOLAK HARGA MINYAK DUNIA DAN RESPON KEBIJAKAN

NEGARA-NEGARA ASIA PASIFIK

Oleh : Joko Siwanto

PEKKI Tahun 2006.1


LATAR BELAKANG

Sepanjang tahun 2002-2005 harga minyak dunia meningkat lebih dari tiga kali lipat, sebuah peningkatan tertinggi sejak awal tahun 1990-an. Masalah ini serta merta menjadi isu global, tak terkecuali negaranegara di kawasan Asia-Pasifik mengingat rata-rata konsumsi energi 21 negara anggota APEC mencapai 59% dari total konsumsi energi dunia (APEC, 2006).

Peningkatan harga minyak dunia ini tak pelak berimbas pada kinerja perekonomian negara APEC. Menurut penelitian Asia Pacific Energy Research Center (APERC), melonjaknya harga minyak dunia menyebabkan penurunan output, melonjaknya inflasi dan upah tenaga kerja, memburuknya neraca perdagangan dan nilai tukar negara-negara Asia Pasifik (APERC, 2005).

Penurunan output akibat kenaikan harga minyak terjadi karena terdapat aliran pendapatan dari Negara importir minyak kepada negara eksportir minyak. Akibatnya pertumbuhan ekonomi di negara importer minyak melambat. Namun pada gilirannya, Negara eksportir minyakpun akan merasakan dampaknya berupa penurunan ekspor komoditas lainnya akibat terjadi penurunan daya beli negara-negara importir minyak tersebut. Dengan demikian, dampak kenaikan harga minyak dirasakan baik oleh negara eksportir maupun negara importir minyak.

Kenaikan harga minyak juga tak pelak turut mendorong peningkatan harga-harga kebutuhan pokok, sehingga meningkatkan inflasi. Peningkatan harga ini menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga memicu tuntutan kenaikan upah tenaga kerja. Di sisi moneter, tekanan inflasi ini akan mendorong bank sentral untuk melakukan kontraksi moneter melalui peningkatan suku bunga yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya meningkatkan jumlah pengangguran.

Dari sisi neraca perdagangan, kenaikan harga minyak dunia menyebabkan neraca perdagangan Negara pengimpor minyak netto memburuk karena nilai impor lebih besar daripada ekspor. Memburuknya neraca perdagangan akan mempengaruhi kinerja neraca pembayaran secara keseluruhan, yang mengakibatkan melemahnya nilai tukar mata uang negara tersebut.

Dalam tabel berikut ini dapat disimak beberapa studi mengenai dampak kenaikan harga minyak terhadap

PERMINTAAN DAN PENAWARAN MINYAK NEGARANEGARA APEC

a. Konsumsi

Konsumsi minyak dunia selama beberapa tahun belakangan ini meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan ekspansi pada beberapa sektor terutama sektor transportasi. Sampai dengan tahun 2005, permintaan minyak dunia terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi di AS dan China, dimana pada tahun 2004 permintaan minyak kedua negara tersebut masing-masing sebesar 3,5% dan 15% (Bailey, M. dkk, 2005).

Negara-negara APEC kebanyakan merupakan negara pengimpor minyak netto ( net oil importers) dimana ketergantungan negara APEC terhadap impor minyak saat ini cukup tinggi yaitu sebesar 36%. Bahkan Hong Kong, Jepang, Korsel, Singapore, Philippines dan Taiwan, sepenuhnya (100%) bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak dalam negerinya. Ketergantungan negara-negara Asia Pasifik terhadap impor minyak diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 55% di tahun 2020 (APEC, 2006).

b. Subsidi

Pada pertemuan menteri energi APEC di Korea tahun 2005, disepakati bersama bahwa subsidi terhadap harga minyak di dalam negeri mengganggu mekanisme pasar. Subsidi menyebabkan permintaan yang terjadi tidak mencerminkan permintaan yang sesungguhnya sebagai respon terhadap perubahan harga. Subsidi juga mengganggu alokasi sumber keuangan negara yang diperuntukkan bagi beberapa sektor yang menjadi prioritas. Di sisi lain, subsidi turut mendorong peningkatan permintaan terhadap energi, baik untuk keperluan konsumsi langsung masyarakat maupun untuk kegiatan produksi.

Dari tiga negara APEC yang memberikan subsidi energi terbesar, yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia, Indonesia merupakan negara terbesar dalam hal jumlah subsidi dan konsumsi minyak per GDP di tahun 2004. Namun belakangan mengingat tekanan yang cukup besar terhadap defisit anggaran pemerintah, Indonesia mulai mengurangi subsidinya, diikuti oleh Thailand dan Malaysia.

c. Produksi

Kapasitas produksi minyak dunia saat ini menurun tajam dan mencapai titik terendah sejak dasawarsa 1980-an. Di Amerika Serikat sendiri pabrik pengolahan minyak ( refinery) yang paling barupun dibangun tahun 1976 dan tidak ada rencana untuk membangun pabrik pengolahan yang baru dalam waktu dekat (ABARE, 2005).

Permintaan dunia terhadap minyak bumi yang telah diolah (refined) diperkirakan akan meningkat melebihi kapasitas produksinya. Meskipun China dan negara-negara emerging economies lainnya berencana untuk membangun pabrik pengolahan minyak yang baru, namun hal tersebut membutuhkan waktu paling sedikit 6 hingga 7 tahun. Sehingga untuk mengejar kebutuhan konsumsi minyak bumi, terdapat kecenderungan pada setiap negara untuk memperbaiki pabrik yang sudah ada daripada mendirikan pabrik baru.

d. Investasi

Menurut International Energy Agency (IEA), untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia selama tahun 2005-2030 diperkirakan dibutuhkan investasi sebesar 105 miliar dolar Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari investasi senilai ini hanya 25% yang benar-benar digunakan untuk membangun pabrik baru, sedangkan selebihnya digunakan untuk memperbaiki pabrik yang ada, termasuk perawatan peralatan dan pipa.

Namun investasi semata-mata tidak cukup untuk mengimbangi kebutuhan konsumsi minyak dunia, mengingat masih terhadap hambatan dalam melakukan investasi di banyak negara seperti pembatasan kepemilikan asing dan persyaratan pengalaman ( performance requirements) bagi investor yang ingin melakukan investasi di sektor energi. Akibatnya investasi di sektor energi masih mengalami kekurangan.

Beban investasi di sektor energi seringkali dirasakan oleh negara-negara berkembang. Pada diagram berikut ini adalah hasil kajian APERC (2003) terhadap perbandingan investasi di sektor energi yang dibutuhkan oleh negara-negara APEC selama 20 tahun ke depan, relatif terhadap GDP. Tampak bahwa negaranegara dengan pendapatan per kapita yang relative rendah membutuhkan investasi di sektor energi lebih besar daripada negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Namun di sisi lain, negaranegara berpendapatan rendah tersebut tidak memiliki cukup dana untuk melakukan investasi. Di samping itu, pasar keuangan di negara tersebut belum berkembang.

Padahal kebanyakan negara berkembang APEC memiliki tingkat tabungan cukup besar yaitu 20% - 30% dari GDP. Selain itu mereka juga memiliki cadangan sumber daya alam yang besar tetapi belum dikelola secara optimal ( underdeveloped energy resources), dimana sebenarnya cadangan ini dapat digunakan sebagai jaminan ( collateral). Apabila negara-negara tersebut dapat mengembangkan pasar modalnya, terutama pasar obligasi korporasi, mereka dapat mendatangkan modal, baik domestik maupun luar negeri, untuk membiayai investasi di sektor energi.

LIBERALISASI PERDAGANGAN

Sebuah studi oleh Schneider dkk (2000) menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan di antara negara-negara APEC yang dimulai sejak Deklarasi Bogor akan meningkatkan output regional sebesar 225 miliar dolar Amerika Serikat di tahun 2020. Peningkatan output ini akan mendorong peningkatan produksi bahan baker fosil di tahun yang sama. Tambahan peningkatan output regional sebesar 0,5% v 2,7% akan diperoleh apabila negara-negara APEC juga menerapkan liberalisasi investasi, terutama pada foreign direct investment (FDI).

Pada studi yang lain, Fairhead dkk (2002) menunjukkan bahwa apabila suatu negara melakukan reformasi di satu sektor saja, yaitu sektor energi, Negara tersebut mampu meningkatkan output-nya mengingat sektor energi merupakan sektor yang paling banyak diatur (highly regulated) di negara-negara APEC.

Berdasarkan penelitian ini, reformasi pasar energi di antara negara-negara APEC akan meningkatkan output regional sebesar 71 miliar dolar Amerika Serikat. Peningkatan output tertinggi diperoleh Negara berkembang, seperti Indonesia dan Meksiko, yang mencerminkan tingginya regulasi sektor energi dan besarnya kontribusi sektor migas di kedua Negara tersebut.

PENUTUP

Minyak bumi sangat penting peranannya dalam perekonomian suatu negara, termasuk di negara-negara APEC. Melonjaknya harga minyak tidak hanya mempengaruhi kinerja perekonomian negara-negara yang tergolong pengimpor minyak netto, tetapi juga negara pengekspor minyak, karena keduanya saling tergantung satu sama lain.

Meningkatnya harga minyak dunia juga berdampak pada negara-negara APEC, dari menurunnya output nasional hingga meningkatnya inflasi dan upah tenaga kerja, memburuknya neraca perdangan dan melemahnya nilai tukar mata uang negara tersebut.

Kekhawatiran terhadap dampak gejolak harga minyak dunia terhadap perekonomian Asia Pasifik telah mendorong para pemimpin APEC untuk membentuk APEC Energy Security Initiative (ESI) yang didirikan pada tahun 2004. Dalam jangka pendek beberapa sasaran yang hendak dicapai ESI mencakup: (i) upaya meningkatkan transparansi di pasar minyak global; (ii) memperkuat keamanan pipa minyak lepas pantai; (iii) melaksanakan real-time emergency information sharing system yaitu sebuah sistem informasi berbasis web untuk memberikan peringatan dini mengenai kejadian luar biasa/darurat di sektor energi (energy emergencies and disruptions); dan (iv) mendorong negara-negara anggota untuk memiliki mekanisme darurat dan contingency plans di bidang energi. Dalam jangka panjang kebijakan ESI meliputi: (i) membantu kerjasama investasi, perdagangan dan teknologi dalam pembangunan infrastruktur energi; (ii) efisiensi energi; (iii) kebijakan energi yang bersih (clean energy); dan (iv) mendorong penggunaan energi yang dapat diperbarui, hidrogen dan baterai ( fuel cells).

REFERENSI:

1. ABARE (2005), Impact of Oil Prices on Trade in the APEC Region, ABARE Research Report 05.3 for the APEC Energy Working Group, October

2. APEC (2006), High Oil Prices: Securing the Energy Supply in the Region, Newsletter Vol 7, January

3. APERC (2003), Energy Security Initiative: Some Aspect of Oil Security, APERC Research Report.

4. APERC (2004), APEC Energy Outlook and Security Issues, presented at the 6th Meeting of APEC Energy Ministers» Meeting Manila, the Philippines, 10 June 2004

5. APERC (2005), APEC Downstream Oil Market Study, presented at the 30th APEC Energy Working Group 30, Ulsan, Korea, August

6. Bailey, Mollard, W., Perry, R., Penm, J., Maurer, A. and Haine, I. 2005, Energy: oil prices remain volatile, Australian Commodities, vol. 12.no. 3, September quarter, pp. 490v8.

7. Fairhead, L., Mélanie, J., Holmes, L., Ye Qiang, Ahammad, H. and Schneider, K. 2002, Deregulating Energy Markets in APEC: Economic and Sectoral Impacts, APEC#202-RE-01.3, ABARE Research Report 02.5, Canberra.

8. IEA (2006), Oil Market Report, March

9. Schneider, K., Graham, B., Millsteed, C., Saunders, M. and Stuart, R. 2000, Trade and Investment Liberalisation in APEC: Economic and Energy Sector Impacts, ABARE Research Report 2000.2, Canberra.

Dampak Reveluasi Yuan Terhadap Perekonomian Indonesia

KAJIAN DAMPAK REVALUASI YUAN TERHADAP

PEREKONOMIAN INDONESIA

PEKKI Tahun 2003.4

PENDAHULUAN

Dewasa ini, semakin menguat desakan negara-negara maju terhadap China untuk melakukan perubahan sistem nilai tukar yuan dari sistem peg terhadap USD yang diterapkan selama ini ke sistem yang lebih fleksibel, sehingga memungkinkan terjadinya apresiasi terhadap yuan sesuai dengan kondisi pasar. Berbagai argumen dikemukakan oleh negara-negara maju tersebut, diantaranya adalah ancaman deflasi global akibat relatif murahnya produk-produk ekspor China, feksibilitas nilai tukar sebagai integrasi China ke perekonomian global, serta aspek manfaat fleksibilitas nilai tukar yuan dalam mengontrol kredit, uang beredar, dan antisipasi dampak shocks eksternal dan internal terhadap perekonomian China.

Menghadapi kuatnya tekanan untuk menerapkan nilai tukar yang lebih fleksibel tersebut, pemerintah China memandang bahwa perubahan sistem tersebut belum waktunya untuk diterapkan pada saat ini. Pemerintah China dewasa ini lebih memfokuskan pada upaya untuk memelihara stabilitas nilai tukar yuan. Stabilitas nilai tukar yuan sebagaimana selama ini dapat dipelihara dengan sistem peg, dipandang sangat kondusif bagi pertumbuhan ekonomi China sehingga menciptakan stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi negara ini. Disamping itu, dengan berbagai problem yang dihadapi pemerintah China saat ini, seperti sektor perbankan yang masih relatif rentan (banking fragility) terhadap shock serta indikasi “overheating” yang muncul pada semester II 2003 merupakan faktor yang belum kondusif bagi revaluasi yuan.

POTENSI EKONOMI CHINA

Overview perkembangan ekonomi China

Menyusul program keberhasilan program reformasi ekonomi yang dijalankan pemerintah China untuk mendorong perekonomian ke arah yang lebih berorientasi pasar dan dengan diterimanya China sebagai anggota WTO pada tahun 2000, perekonomian Negara ini mengalami perkembangan yang sangat mengagumkan. Dewasa ini, China bahkan berkembang menjadi salah satu kekuatan ekonomi yang cukup besar di kawasan Asia setelah Jepang. Perkembangan ekonomi negara tersebut dalam beberapa dekade terakhir cenderung meningkat, bahkan ketika krisis melanda beberapa negara di kawasan Asia pada tahun 1997. Peran China dalam perekonomian global menjadi semakin penting sejalan dengan melambatnya perekonomian beberapa negara besar, seperti AS, Eropa, dan Jepang beberapa periode terakhir.

Perkembangan dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan perekonomian China mengalami pertumbuhan sangat mengesankan, dengan angka pertumbuhan rata-rata mencapai 7% per tahun. Wabah SARS yang melanda kawasan Asia dengan kasus terbesar ditemukan di China, sempat mengganggu pertumbuhan ekonomi negara ini di triwulan II 2003. Meskipun demikian, pemulihan ekonomi khususnya pada triwulan III dan IV 2003 telah mendorong kenaikan pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2003 ke level 9,1% (y-o-y), tertinggi dalam enam tahun terakhir, menyusul pertumbuhan 8,1% (y-o-y) pada tahun 2002. Pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan tekanan inflasi yang rendah bahkan selalu deflasi pada tahun 2001 dan 2002.

Konsumsi masyarakat, sector eksternal khususnya sektor perdagangan serta investasi sangat berperan dalam menunjang tingginya pertumbuhan ekonomi China tersebut. Perdagangan internasional dan investasi tersebut pada tahun 2003 menunjukkan kenaikan 30% (yoy). Sementara konsumsi didukung oleh potensi pasar China yang sangat besar mencapai sekitar 1,3 miliar jiwa (data tahun 2002).

Peran China dalam Perdagangan Internasional

Sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, perdagangan internasional China juga menunjukan kecenderungan meningkat. Sektor ini juga menunjukkan ketahanan yang cukup baik dalam menghadapi shock internal dan eksternal – sebagai contoh terjadinya perang Irak dan wabah SARS pada tahun 2003 Meskipun gangguan tersebut sempat mendorong turunnya kinerja perdagangan internasional China, ekspor China ke pasar internasional kembali meningkat seperti tercermin pada neraca perdagangan yang kembali surplus.

Dalam periode 1996-2002, kawasan Asia masih menjadi pasar terbesar bagi produk ekspor China, dengan pangsa mencapai angka 52% di tahun 2002. Selanjutnya pangsa ekspor terbesar lainnya adalah kawasan Amerika Utara dan Eropa yang masing-masing mencapai 23% dan 18%. Di kawasan Asia, ekspor China sebagian besar ditujukan ke Hong Kong (17,5%) dan Jepang (16,9%). Sementara itu, ekspor China ke Indonesia relatif kecil dengan pangsa sebesar 1,8% dari total ekspor China ke kawasan Asia. Angka ini juga relatif stabil dibandingkan tahun 1999 yang mencapai 1,7%.

Untuk negara-negara industri maju, ekspor China terbesar ditujukan ke AS dengan pangsa rata-rata sekitar 40% untuk periode tahun 1995-2002. Pada periode yang sama, tujuan ekspor utama lainnya adalah Jepang dengan rata-rata mencapai 35%. Dapat ditambahkan, perkembangan ekspor China ke AS terus menunjukkan kecenderungan meningkat secara signifikan. Kondisi itulah yang menjadi salah satu penyebab kekhawatiran AS terhadap masuknya produk-produk China ke pasar domestik. Dengan semakin berkembangnya ekspor China ke AS, Jepang dan beberapa negara industri maju lainnya –yang juga mengekspor produknya ke AS—turut mengkhawatirkan perkembangan tersebut.

Dari sisi komoditas, ekspor China mengalami perkembangan dari produk primer ke arah produk “middle dan high end”. Pada periode 1984-1987 mayoritas ekspor China ke pasar global masih merupakan komoditas minyak mentah, dengan pangsa sekitar 22-41%. Selanjutnya sejak tahun 1988 mulai terjadi pergeseran pangsa komoditas ke produk pakaian jadi, sehingga pangsanya mencapai 38,9% dibandingkan dengan minyak mentah sebesar 3,1%. Selain produk pakaian jadi, ekspor mainan anak-anak juga menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, dari sekitar 3% pada tahun 1984 menjadi 11,97% di tahun 2001.

Komoditas ekspor China juga mempunyai pasar tersendiri. Untuk tujuan ekspor utamanya, seperti Jepang komoditas ekspor utama China adalah produk tekstil dan peralatan elektronik dengan pangsa masing-masing mencapai 26% dan 29% pada tahun 2002. Sementara untuk pasar Eropa dan Amerika, mayoritas ekspor China adalah peralatan listrik, dengan pangsa masingmasing mencapai 38,9% dan 37,5%.

Selain perkembangan ekspor ke pasar internasional yang mengesankan, investasi China ke luar negeri juga menunjukkan perkembangan serupa. Dalam semilan tahun terakhir terlihat adanya peningkatan signifikan nilai investasi China ke luar negeri, dari $1690 juta di tahun 1993 menjadi $4433 juta di tahun 2001. Menilik perkembangan ekspor dan investasi tersebut, terlihat semakin pentingnya peran ekonomi China dalam perekonomian global. Sementara itu, dengan jumlah penduduk yang sangat besar serta kebijakan ekonomi yang semakin liberal, China juga merupakan pasar potensial yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai negara di dunia baik dalam kerangka perdagangan maupun investasi.

HUBUNGAN EKONOMI CHINA DENGAN INDONESIA

Selain letak regionalnya, perekonomian China dan Indonesia juga mempunyai keterkaitan yang erat khususnya dalam bentuk kerjasama perdagangan dan investasi. Perkembangan perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China dewasa ini menunjukkan kecenderungan meningkat. Meskipun demikian, berdasarkan total nilai ekspor dan impor China ke dan dari Indonesia terlihat bahwa nilai ekspor dan impor China terhadap Indonesia relative kecil jika dibandingkan dengan total ekspor dan impor China ke pasar internasional. Pangsa ekspor China ke Indonesia berdasarkan data tahun 1984-2002 terhadap total ekspor China hanya mencapai rata-rata sebesar 0,7% sedangkan untuk impor China dari Indonesia mencapai 1,5% dari total impor China. Sementara jika dibandingkan dengan ekspor dan impor China ke/dari kawasan Asia, pangsa ekspor China ke Indonesia mencapai angka 1,2% sedangkan untuk impor China dari Indonesia mencapai angka 2,6%.

Meskipun secara total pangsa ekspor China ke Indonesia masih relative kecil, pangsa impor Indonesia dari China meningkat signifikan, baik dibandingkan dengan total impor Indonesia maupun dengan impor non-migas Indonesia. Jika pada tahun 1988 pangsa impor Indonesia dari China hanya sebesar 3,3% (terhadap total impor Indonesia) dan 3,6% (impor non-migas Indonesia), maka pada tahun 2002 pangsa tersebut melonjak masingmasing menjadi 7,8% dan 9,8%.

Terlepas dari tren peningkatan impor Indonesia dari China, total perdagangan bilateral antara Indonesia dan China sejak tahun 1993 memperlihatkan nilai perdagangan surplus bagi Indonesia. Hal ini didukung oleh lebih kecilnya nilai ekspor China ke Indonesia dibandingkan dengan nilai impor China dari Indonesia. Sementara itu, ditinjau dari jenis komoditasnya, ekspor China ke Indonesia sebagian besar adalah mesin-mesin dan alat-alat listrik dengan pangsa mencapai 30,4% (tahun 2001) dari total ekspor China ke Indonesia. Sedangkan untuk impor dari Indonesia mayoritasnya adalah produk mineral termasuk bahan bakar minyak dengan pangsa mencapai 38% (tahun 2001).

Untuk menjawab pertanyaan, apakah revaluasi yuan akan berdampak pada perekonomian Indonesia, hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek terkait dengan perdagangan internasinal kedua negara, yaitu antara lain : perbandingan komoditas ekspor China dengan Indonesia, perbandingan pangsa ekspor kedua negara, dan perbandingan daya saing produk ekspor kedua negara. Dari perbandingan jenis komoditas ekspor yang masuk dalam peringkat 10 terbesar antara Indonesia dengan China menunjukkan adanya banyak persamaan, yaitu pada komoditas (i) Mineral Fuels,Lubricants etc., (ii) Manufactured Goods, (iii) Miscellaneous Manufactured Articles, (iv) Machinery and Transport Equipments, (v) Petroleum and Petroleum Products, (vi) Gas, Natural and Manufactured, (vii) Crude Materials, Inedible Textile Yarns, Fabrics and Made up Articles, (viii) Food and Live Animals. Kesamaan jenis komoditas andalan ekspor tersebut mengindikasikan potensi persaingan antara ekspor Indonesia dengan China.

Selanjutnya, perkembangan daya saing ekspor antara Indonesia dengan China berdasarkan perbandingan nilai tukar riil bilateral (BRER) rupiah dan yuan, menunjukkan bahwa sampai saat ini daya saing produk ekspor Indonesia masih relatif lebih tinggi dibandingkan dengan daya saing produk ekspor China. Hal ini ditunjukkan dengan indeks BRER rupiah lebih rendah dibandingkan indeks BRER yuan. Namun demikian, sejalan dengan menguatnya nilai tukar rupiah beberapa periode terakhir, perlu diwaspadai kecenderungan meningkatnya BRER rupiah — naik dari 64,18 di akhir 2002 menjadi 67,86 di Agustus 2003—dan bahkan telah melampaui Malaysia (66,3) dan Thailand (64,5), sementara BRER yuan terlihat cenderung menurun, dari 83,7 di akhir 2002 menjadi 82,9 di bulan Agustus 2003. Apabila kondisi tersebut terus berlanjut, sementara China tetap mempertahankan sistem nilai tukar peg terhadap USD, maka dikhawatirkan pada beberapa periode ke depan produk ekspor Indonesia akan menghadapi persaingan yang semakin berat khususnya persaingan dengan produk ekspor China.

Revaluasi yuan secara langsung akan berdampak pada naiknya harga dan mengurangi daya saing produk ekspor China di pasar internasional. Hal ini akan menciptakan peluang bagi produk ekspor Indonesia untuk merebut pasar ekspor China, khususnya produk ekspor yang mempunyai kesamaan dengan produk ekspor China. Peluang bagi Indonesia tersebut akan semakin besar mengingat dengan sistem peg yang diterapkan saat inipun kondisi BRER rupiah yang relatif lebih rendah dibandingkan BRER yuan. Dengan demikian, dari sisi ini Indonesia juga akan diuntungkan apabila revaluasi Yuan diterapkan pemerintah China.

Terkait dengan perdagangan bilateral antara Indonesia dengan China, revaluasi yuan diperkirakan akan semakin meningkatkan surplus perdagangan Indonesia. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa dalam sistem nilai tukar “pegging” yuan terhadap USD selama ini masih menciptakan surplus bagi Indonesia (nilai ekspor Indonesia ke China masih lebih besar dibandingkan nilai impor Indonesia dari China). Revaluasi yuan tentunya akan menyebabkan harga produk yang diimpor China dari Indonesia menjadi semakin murah, sehingga diharapkan permintaan impor produk Indonesia oleh masyarakat China akan mengalami peningkatan. Dengan demikian, surplus perdagangan bilateral Indonesia dengan China tentunya akan semakin meningkat.

Meskipun selama ini surplus perdagangan dengan China selalu dialami Indonesia, perlu dicermati kecenderungan meningkatnya impor Indonesia dari China yang cukup signifikan dalam beberapa periode terakhir. Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya pangsa impor Indonesia dari China, yaitu dari 3,3% di tahun 1988 menjadi 7,8% di akhir tahun 2002. Dari jenis komoditasnya, mayoritas impor Indonesia dari China adalah mesin-mesin dan peralatan listrik. Peningkatan pangsa impor dari China tersebut perlu dicermati dampaknya terhadap sektor riil, khususnya sektor produksi, mengingat mesin dan peralatan listrik tersebut pada umumnya merupakan alat produksi (capital goods).

PENUTUP

Perkembangan ekonomi China yang mengesankan telah meningkatkan peran Negara tersebut dalam perekonomian global. Hal ini antara lain ditunjukkan dengan cenderung meningkatnya nilai ekspor China di pasar internasional dan perkembangan investasi China ke luar negeri. Selain itu, jumlah penduduk yang sangat besar dan pertumbuhan ekonomi tinggi, China sekaligus juga mempunyai potensi pasar yang sangat besar bagi produk ekspor negaranegara di dunia.

Revaluasi yuan sebagaimana ditekankan oleh beberapa negara industri maju akhir-akhir ini diperkirakan akan berdampak pada naiknya harga barang-barang ekspor China. Kenaikan harga produk ekspor China akibat apresiasi yuan tersebut selanjutnya akan berdampak pada turunnya daya saing produk ekspor China. Bagi perekonomian Indonesia, revaluasi yuan tersebut diperkirakan kurang berdampak negatif yang berarti. Sebaliknya, hal ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk merebut pangsa ekspor China ke pasar global. Satu hal yang sebenarnya perlu lebih diwaspadai adalah kemungkinan terganggunya perekonomian China, mengingat mulai nampaknya indikasi “overheating” perekonomian negara tersebut di semester II 2003. Terganggunya atau lebih buruk lagi melambatnya pertumbuhan ekonomi\ China diperkirakan justru akan berdampak serius bagi perekonomian global, mengingat besarnya potensi pasar China.