Minggu, 30 Maret 2008

Gejolak Harga Minyak Dunia dan Respon Kebijakan Negara-negara Asia Pasifik

GEJOLAK HARGA MINYAK DUNIA DAN RESPON KEBIJAKAN

NEGARA-NEGARA ASIA PASIFIK

Oleh : Joko Siwanto

PEKKI Tahun 2006.1


LATAR BELAKANG

Sepanjang tahun 2002-2005 harga minyak dunia meningkat lebih dari tiga kali lipat, sebuah peningkatan tertinggi sejak awal tahun 1990-an. Masalah ini serta merta menjadi isu global, tak terkecuali negaranegara di kawasan Asia-Pasifik mengingat rata-rata konsumsi energi 21 negara anggota APEC mencapai 59% dari total konsumsi energi dunia (APEC, 2006).

Peningkatan harga minyak dunia ini tak pelak berimbas pada kinerja perekonomian negara APEC. Menurut penelitian Asia Pacific Energy Research Center (APERC), melonjaknya harga minyak dunia menyebabkan penurunan output, melonjaknya inflasi dan upah tenaga kerja, memburuknya neraca perdagangan dan nilai tukar negara-negara Asia Pasifik (APERC, 2005).

Penurunan output akibat kenaikan harga minyak terjadi karena terdapat aliran pendapatan dari Negara importir minyak kepada negara eksportir minyak. Akibatnya pertumbuhan ekonomi di negara importer minyak melambat. Namun pada gilirannya, Negara eksportir minyakpun akan merasakan dampaknya berupa penurunan ekspor komoditas lainnya akibat terjadi penurunan daya beli negara-negara importir minyak tersebut. Dengan demikian, dampak kenaikan harga minyak dirasakan baik oleh negara eksportir maupun negara importir minyak.

Kenaikan harga minyak juga tak pelak turut mendorong peningkatan harga-harga kebutuhan pokok, sehingga meningkatkan inflasi. Peningkatan harga ini menyebabkan penurunan daya beli masyarakat sehingga memicu tuntutan kenaikan upah tenaga kerja. Di sisi moneter, tekanan inflasi ini akan mendorong bank sentral untuk melakukan kontraksi moneter melalui peningkatan suku bunga yang berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, yang pada gilirannya meningkatkan jumlah pengangguran.

Dari sisi neraca perdagangan, kenaikan harga minyak dunia menyebabkan neraca perdagangan Negara pengimpor minyak netto memburuk karena nilai impor lebih besar daripada ekspor. Memburuknya neraca perdagangan akan mempengaruhi kinerja neraca pembayaran secara keseluruhan, yang mengakibatkan melemahnya nilai tukar mata uang negara tersebut.

Dalam tabel berikut ini dapat disimak beberapa studi mengenai dampak kenaikan harga minyak terhadap

PERMINTAAN DAN PENAWARAN MINYAK NEGARANEGARA APEC

a. Konsumsi

Konsumsi minyak dunia selama beberapa tahun belakangan ini meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan ekspansi pada beberapa sektor terutama sektor transportasi. Sampai dengan tahun 2005, permintaan minyak dunia terutama didorong oleh pertumbuhan ekonomi di AS dan China, dimana pada tahun 2004 permintaan minyak kedua negara tersebut masing-masing sebesar 3,5% dan 15% (Bailey, M. dkk, 2005).

Negara-negara APEC kebanyakan merupakan negara pengimpor minyak netto ( net oil importers) dimana ketergantungan negara APEC terhadap impor minyak saat ini cukup tinggi yaitu sebesar 36%. Bahkan Hong Kong, Jepang, Korsel, Singapore, Philippines dan Taiwan, sepenuhnya (100%) bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak dalam negerinya. Ketergantungan negara-negara Asia Pasifik terhadap impor minyak diperkirakan akan terus meningkat hingga mencapai 55% di tahun 2020 (APEC, 2006).

b. Subsidi

Pada pertemuan menteri energi APEC di Korea tahun 2005, disepakati bersama bahwa subsidi terhadap harga minyak di dalam negeri mengganggu mekanisme pasar. Subsidi menyebabkan permintaan yang terjadi tidak mencerminkan permintaan yang sesungguhnya sebagai respon terhadap perubahan harga. Subsidi juga mengganggu alokasi sumber keuangan negara yang diperuntukkan bagi beberapa sektor yang menjadi prioritas. Di sisi lain, subsidi turut mendorong peningkatan permintaan terhadap energi, baik untuk keperluan konsumsi langsung masyarakat maupun untuk kegiatan produksi.

Dari tiga negara APEC yang memberikan subsidi energi terbesar, yaitu Indonesia, Thailand dan Malaysia, Indonesia merupakan negara terbesar dalam hal jumlah subsidi dan konsumsi minyak per GDP di tahun 2004. Namun belakangan mengingat tekanan yang cukup besar terhadap defisit anggaran pemerintah, Indonesia mulai mengurangi subsidinya, diikuti oleh Thailand dan Malaysia.

c. Produksi

Kapasitas produksi minyak dunia saat ini menurun tajam dan mencapai titik terendah sejak dasawarsa 1980-an. Di Amerika Serikat sendiri pabrik pengolahan minyak ( refinery) yang paling barupun dibangun tahun 1976 dan tidak ada rencana untuk membangun pabrik pengolahan yang baru dalam waktu dekat (ABARE, 2005).

Permintaan dunia terhadap minyak bumi yang telah diolah (refined) diperkirakan akan meningkat melebihi kapasitas produksinya. Meskipun China dan negara-negara emerging economies lainnya berencana untuk membangun pabrik pengolahan minyak yang baru, namun hal tersebut membutuhkan waktu paling sedikit 6 hingga 7 tahun. Sehingga untuk mengejar kebutuhan konsumsi minyak bumi, terdapat kecenderungan pada setiap negara untuk memperbaiki pabrik yang sudah ada daripada mendirikan pabrik baru.

d. Investasi

Menurut International Energy Agency (IEA), untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia selama tahun 2005-2030 diperkirakan dibutuhkan investasi sebesar 105 miliar dolar Amerika Serikat setiap tahunnya. Dari investasi senilai ini hanya 25% yang benar-benar digunakan untuk membangun pabrik baru, sedangkan selebihnya digunakan untuk memperbaiki pabrik yang ada, termasuk perawatan peralatan dan pipa.

Namun investasi semata-mata tidak cukup untuk mengimbangi kebutuhan konsumsi minyak dunia, mengingat masih terhadap hambatan dalam melakukan investasi di banyak negara seperti pembatasan kepemilikan asing dan persyaratan pengalaman ( performance requirements) bagi investor yang ingin melakukan investasi di sektor energi. Akibatnya investasi di sektor energi masih mengalami kekurangan.

Beban investasi di sektor energi seringkali dirasakan oleh negara-negara berkembang. Pada diagram berikut ini adalah hasil kajian APERC (2003) terhadap perbandingan investasi di sektor energi yang dibutuhkan oleh negara-negara APEC selama 20 tahun ke depan, relatif terhadap GDP. Tampak bahwa negaranegara dengan pendapatan per kapita yang relative rendah membutuhkan investasi di sektor energi lebih besar daripada negara-negara dengan pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Namun di sisi lain, negaranegara berpendapatan rendah tersebut tidak memiliki cukup dana untuk melakukan investasi. Di samping itu, pasar keuangan di negara tersebut belum berkembang.

Padahal kebanyakan negara berkembang APEC memiliki tingkat tabungan cukup besar yaitu 20% - 30% dari GDP. Selain itu mereka juga memiliki cadangan sumber daya alam yang besar tetapi belum dikelola secara optimal ( underdeveloped energy resources), dimana sebenarnya cadangan ini dapat digunakan sebagai jaminan ( collateral). Apabila negara-negara tersebut dapat mengembangkan pasar modalnya, terutama pasar obligasi korporasi, mereka dapat mendatangkan modal, baik domestik maupun luar negeri, untuk membiayai investasi di sektor energi.

LIBERALISASI PERDAGANGAN

Sebuah studi oleh Schneider dkk (2000) menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan di antara negara-negara APEC yang dimulai sejak Deklarasi Bogor akan meningkatkan output regional sebesar 225 miliar dolar Amerika Serikat di tahun 2020. Peningkatan output ini akan mendorong peningkatan produksi bahan baker fosil di tahun yang sama. Tambahan peningkatan output regional sebesar 0,5% v 2,7% akan diperoleh apabila negara-negara APEC juga menerapkan liberalisasi investasi, terutama pada foreign direct investment (FDI).

Pada studi yang lain, Fairhead dkk (2002) menunjukkan bahwa apabila suatu negara melakukan reformasi di satu sektor saja, yaitu sektor energi, Negara tersebut mampu meningkatkan output-nya mengingat sektor energi merupakan sektor yang paling banyak diatur (highly regulated) di negara-negara APEC.

Berdasarkan penelitian ini, reformasi pasar energi di antara negara-negara APEC akan meningkatkan output regional sebesar 71 miliar dolar Amerika Serikat. Peningkatan output tertinggi diperoleh Negara berkembang, seperti Indonesia dan Meksiko, yang mencerminkan tingginya regulasi sektor energi dan besarnya kontribusi sektor migas di kedua Negara tersebut.

PENUTUP

Minyak bumi sangat penting peranannya dalam perekonomian suatu negara, termasuk di negara-negara APEC. Melonjaknya harga minyak tidak hanya mempengaruhi kinerja perekonomian negara-negara yang tergolong pengimpor minyak netto, tetapi juga negara pengekspor minyak, karena keduanya saling tergantung satu sama lain.

Meningkatnya harga minyak dunia juga berdampak pada negara-negara APEC, dari menurunnya output nasional hingga meningkatnya inflasi dan upah tenaga kerja, memburuknya neraca perdangan dan melemahnya nilai tukar mata uang negara tersebut.

Kekhawatiran terhadap dampak gejolak harga minyak dunia terhadap perekonomian Asia Pasifik telah mendorong para pemimpin APEC untuk membentuk APEC Energy Security Initiative (ESI) yang didirikan pada tahun 2004. Dalam jangka pendek beberapa sasaran yang hendak dicapai ESI mencakup: (i) upaya meningkatkan transparansi di pasar minyak global; (ii) memperkuat keamanan pipa minyak lepas pantai; (iii) melaksanakan real-time emergency information sharing system yaitu sebuah sistem informasi berbasis web untuk memberikan peringatan dini mengenai kejadian luar biasa/darurat di sektor energi (energy emergencies and disruptions); dan (iv) mendorong negara-negara anggota untuk memiliki mekanisme darurat dan contingency plans di bidang energi. Dalam jangka panjang kebijakan ESI meliputi: (i) membantu kerjasama investasi, perdagangan dan teknologi dalam pembangunan infrastruktur energi; (ii) efisiensi energi; (iii) kebijakan energi yang bersih (clean energy); dan (iv) mendorong penggunaan energi yang dapat diperbarui, hidrogen dan baterai ( fuel cells).

REFERENSI:

1. ABARE (2005), Impact of Oil Prices on Trade in the APEC Region, ABARE Research Report 05.3 for the APEC Energy Working Group, October

2. APEC (2006), High Oil Prices: Securing the Energy Supply in the Region, Newsletter Vol 7, January

3. APERC (2003), Energy Security Initiative: Some Aspect of Oil Security, APERC Research Report.

4. APERC (2004), APEC Energy Outlook and Security Issues, presented at the 6th Meeting of APEC Energy Ministers» Meeting Manila, the Philippines, 10 June 2004

5. APERC (2005), APEC Downstream Oil Market Study, presented at the 30th APEC Energy Working Group 30, Ulsan, Korea, August

6. Bailey, Mollard, W., Perry, R., Penm, J., Maurer, A. and Haine, I. 2005, Energy: oil prices remain volatile, Australian Commodities, vol. 12.no. 3, September quarter, pp. 490v8.

7. Fairhead, L., Mélanie, J., Holmes, L., Ye Qiang, Ahammad, H. and Schneider, K. 2002, Deregulating Energy Markets in APEC: Economic and Sectoral Impacts, APEC#202-RE-01.3, ABARE Research Report 02.5, Canberra.

8. IEA (2006), Oil Market Report, March

9. Schneider, K., Graham, B., Millsteed, C., Saunders, M. and Stuart, R. 2000, Trade and Investment Liberalisation in APEC: Economic and Energy Sector Impacts, ABARE Research Report 2000.2, Canberra.

Tidak ada komentar: