Minggu, 30 Maret 2008

NILAI TUKAR

Memahami Penguatan Rupiah

Dalam tempo kurang 6 bulan sejak kurs rupiah terdepresiasi ke level Rp 11.000 pada akhir Agustus 2005, dari awal September 2005 hingga minggu kedua Februari 2006 rupiah menguat 10% lebih. Beberapa kalangan mulai cemas, penguatan ini dapat menurunkan kinerja ekspor karena daya saing rupiah anjlok.

Oleh: NANANG HENDARSAH*)

Kecemasan tidak perlu muncul bila melihat banyaknya sisi lain dalam perekonomian yang justru diuntungkan penguatan rupiah. Misalnya, mengurangi tekanan kenaikan inflasi dan suku bungan karena besarnya pengaruh kurs terhadap pembentukan ekspektasi inflasi. Kalau inflasi dapat turun terus, secara riil daya saing rupiah tidak akan terganggu.

Kurs bukanlah faktor tunggal penentu daya saing ekspor. Justru beberapa kalemahan struktural industri berbasis ekspor membuat komoditas Indonesia sulit bersaing di pasar global.

Penguatan rupiah bukanlah masalah besar jika naik turunnya kurs dipandang sebagai hal wajar. Apabila kurs ditentukan pasar, ia akan bergerak menyesuaikan dengan kondisi permintaan dan penawaran valuta, sebagai representasi kondisi ekonomi. Persoalan pentingnya, agar proses penyesuaian kurs ini tidak terlalu fluktuatif dan tidak menimbulkan ketidakpastian yang persisten. Apabila kondisi fundamentalnya dala jangka panjang memang mengharuskan rupiah turun atau naik maka penyesuaian seyogyanya tanpa gejolak.

Sejatinya, faktor produktivitas dan daya saing disektor ekspor (Ballasa Samuelson Effect), yang merupakan keunggulan negara-negara industri baru di Asia, menjadi penentu utama arah pergerakan kurs dalam jangka panjang. Kebijakan oneter hanya turut berperan memperhalus (smoothing) pergerakan kurs dalam tren jangka panjangnya.


Ibarat harga di pasar barang yang ditentukan permintaan dan penawaran, penentuan kurs valuta pun demikian, meski mekanisme pentuan harganya lebihbanyak terjadi di pasar antar-bank (Over the counter market). Sejalan dengan menggiatnya kembali kegiatran usaha sejak awal tahun 2003, permintaan valas terutama dari korporasi terus meningkat. Selama 2004, pembelian valas oleh korporasi di pasar spot mencapai rata-rata 2,5 miliar dollar AS per bulan atau melonjak 93% dari rata-rata bulanan tahun 2003, dan pada tahun 2005 mencapai 3,2 miliar dollar AS perbulan atau meningkat lagi sebesar 27%.

Meningkatnya pembelian valas ini secara tajam, terutama akibat ekspektasi ekonomi yang tergantung pada barang modal dan bahan baku impor. Sebagai salah satu contoh, selama 2004 dan 2005 industri otomotif getolmemburu valas karena meningkatnya kebutuhan impor untuk memenuhi lonjakan permintaan kendaraan bermotor. Maraknya pembelian kendaraan bermotor juga didukung pembiayaan kredit yang sangat murah.

Ekspansi usaha dan melonjaknya penjualan kendaraan bermotor tentu berkonsekuansi meningkatnya konsumsi BBM. Pada tahun 2005, konsumsi BBM perbulan rata-rata naik sekitar 12% dibandingkan dengan konsumsi bulanan tahun 2002. Di sisi lain, tahun 2005 juga diwarnai melambungnya harga minyak sampai 70 dollar AS per barel. Tentu, kebutuhan devisa untuk impor minyak melonjak. Rata-rata nilai impor minyak (Crude dan produk BBM) per bulan selama 2005 naik 150% dari rata-rata bulanan selama 2002.

Sebaliknya, volume produksi minyak mentah kita cenderung turun karena kapasitas produksi minyak semakin terbatas. Selama 2005, rata-rata volume produksi minyak per bulan turun sekitar 20% dibandingkan rata-rata tahun 2002.

Magnet jangka panjang

Dari sisi penawaran, pasokan valas pun tidak mengalami peningkatan berarti. Meskipun selama 2005 penjualan valas oleh korporasi mencapai rata-rata 2,4 miliar dollar AS per bulan, naik 29% dari tahun 2004, jumlah ini masih lebih kecil dari permintaan korporasi yang mencapai 3,2 miliar dollar AS per bulan. Akibatnya, selama tahun 2005 tiap bulan pasar mengalami ekses demand dari korporasi sekitar 800 juta dollar AS. Jumlah ini lebih besar dari tahun 2002 yang hanya 240 juta dolar per bulan.

Kenyataannya, devisa dari sektor industri berbasis ekspor pun belum cukup memenuhi kebutuhan valas akibat tingginya pertumbuan impor. Dilihat dari strukturnya, komposii pasokan valas sesungguhnya cukup rentan. Belum memadainya pasokan devisa dari ekspor, aliran masuk modal portofolio asing atau sering disebut hot money justru mendominasi pasokan valas.

Pasokan valas dari aliran modal asing ke sektor riil (FDI) masih penuh ketidakpastian, meskipun rencana penanaman modal asing terindikasi meningkat beberapa tahun terakhir. Dari total mutasi modal FDI dan fortofolio selama tahun 2004, nilai bersih dari aliran modal masuk dalam bentuk fortofolio mencapai sekitar 75% dan turun menjadi sekitar 52% selama tahun 2005. Ini berbalikan dengan kebanyakan negara tetangga yang lebih banyak menerima aliran FDI. Komposisi aliran modal masuk demikian tentu menyimpan masalah karena jenis modal hot money ini mudah masuk dan mudah berbalik lagi keluar.

Keluarnya hot money pada pertengahan tahun 2004 serta awal tahun 2005 yang memicu kepanikan pelaku pasar domestik dan sempat menghempaskan kurs rupiah menembus Rp 10.000,- merupakan contoh betapa bahayanya jenis modal itu. Namun, rupiah yang kembali perkasa pada awal tahun 2006 ini pun justru berkat gelontoran valas dari hot money yang masuk ke beberapa instrumen, seperti saham, SUN, dan SBI sejak september 2005.

Kepemilikan asing dalam SBI dan SUN pada pertengahan Februari 2006 telah naik dua kali lipat dari posisi akhir Agustus. Di pasar spot, kenaikan itu juga terindikasi dari besarnya mutasi penjualan valas oleh pelaku luar negeri ke bank-bank nasional sejak September 2005. bahkan selama Januari 2006 mencapai 2,8 miliar dolar AS, atau secara nilai bersih (net) mencapai 1,17 miliar dolar AS.

Memang, instrumen-instrumen rupiah iru menawarkan imbal hasil yang cukup menggiurkan bagi pemodal asing. Di pasar SUN, mereka mulai mengakumulasi instrumen ini ketika harga mencapai titik terendah dengan imbal hasil sekitar 15% akibat maraknya pencairan reksa dana sekitar awal September 2005. dengan imbal hasil SUN bertenor 5 tahun saat ini sekitar 12% tetap masih lebih tinggi dari imbal hasil obligasi Peso Filipina yang sekitar 9%.

Jelas kiranya, pola ekspansi ekonomi yang tergantung pada impor dan tingginya impor minyak membuat pasar valas senantiasa mengalami akses demand. Kesenjangan ini sebagian ditutup dengan pasokan valas dalam bentuk modal asing untuk portofolio.

Ibaratnya, jenis modal ini dibenci, tetapi juga dirindukan di tengah belum memadainya dukungan devisa hasil ekspor dan aliran FDI. Karena itu, menyikapinya perlu kehati-hatian. Kita berharap pemodal asing bisa memarkir uangnya berlama-lama. Tentu tergantung keyakinan mereka akan prospek ekonomi Indonesia dan terpeliharanya kestabilan makro-ekonomi yang perlu didukung fondasi kebijakan yang kokoh.

Jika aliran masuk dana asing ke portofolio tertanam sustainable seperti di negara lain, lambat laun akan diikuti masuknya FDI. Dengan dukungan kebijakan fiskal yang semakin pruden dan kebijakan moneter yang semakin konsisten dalam mencapai inflasi rendah dan stabil, akan memperkecil peluang keluarnya hot money secara “brutal” seperti pertengahan tahun 2004 dan 2005.

Meski demikian, kewaspadaan tetap diperlukan sembari menuntaskan pekerjaan lainnya agar jadi magnet masuknya modal jangka panjang. Misalnya, realisasi proyek infrastruktur yang nilainya sangat besar dan kelanjutan upaya serius pemerintah memberantas berbagai distorsi penyebab ekonomi biaya tinggi.

(SUMBER: KOMPAS / Selasa, 27 Februari 2006)



*) Nanang Hendarsah : Peneliti Ekonomi Madya Bank Indonesia (artikel ini merupakan pendapat peribadi)

Tidak ada komentar: